Selasa, 12 Oktober 2010

PENYESALAN TIADA BERGUNA ?

Apakah anda sering mendengar orang yang mengatakan “apa yang telah terjadi, tidak perlu di sesali, yang sudah ya sudah, penyesalan itu tiada berguna”?.
Benarkah kita tidak perlu menyesali perbuatan salah kita? Benarkah penyesalan itu tiada berguna? Sariman mempertanyakannya.
Ada gadis remaja yang di tinggal pacarnya. Lantas ia menyesal, mengapa orang yang begitu di cintai meninggalkannya padahal segala bentuk perhatian dan sayang telah di curahkannya. Saat ia curhat pada orang lain, ia mendapat nasehat “Yang sudah ya sudah, ndak perlu disesali… Penyesalan dan airmata tiada berguna…”, katanya.
Seorang businessman datang kepada konsultannya, ia membeberkan kerugian investasinya. Gara-garanya adalah ia salah membaca situasi dan terbujuk oleh rayuan manis seseorang culas yang ingin memanfaatkannya. Apa yang dikatakan konsultannya kemudian? “Bapak, yang terjadi tidak bisa di tarik kembali, jadi buat apa di sesali?…”
Ada remaja SMU yang tidak naik kelas. Kemudian ia curhat kepada teman karibnya. “Jack, gue malu nggak naik kelas. Orang tua gue pasti malu juga. Nyesel gue. Kenapa dulu gue males belajar ya…” terus kemudian karibnya menasehati, “Penyesalan itu selalu datang di kemudian hari Bro, dan itu tidak lantas merubah keadaan… Sudahlah Bro terima saja kenyataannya, nggak perlu disesali…”
Satu lagi. Seorang pria muda resah lantaran ia di PHK dari perusahaan tempat selama ini ia bekerja untuk mencari nafkah bagi keluarga. Sebab musababnya, ia menggerakkan aksi demonstrasi hingga anarkhis, menuntut kenaikan gaji 30%. Padahal kinerja dia standar-standar saja, dan dalam hitung-hitungan bisnis perusahaan memang belum mampu memenuhi tuntutannya. Lalu perusahaan mem-PHK-nya dan meng-hire orang baru untuk menggantikan posisinya.
Walaupun ia dapat pesangon tapi ia tetap merasa rugi. Pesangon yang diterima mungkin akan habis dalam waktu 4 sampai 6 bulan, setelah itu? Itulah yang membuatnya resah. Pekerjaan baru belum juga di dapat, mau usaha sendiri tidak punya cukup nyali, mau protes ke perusahaan, apa pasalnya? Lha wong Perusahaan telah menjalankan kewajibannya dan telah memberikan hak-haknya.
Seandainya dulu ia tidak menggerakkan aksi demontrasi, pasti sekarang ia masih bekerja, punya status, dan untung-untung perusahaan mau mempromosikannya karena ia tergolong karyawan yang cukup senior, begitu pikirnya.
Dalam duka resahnya itu, ia datang kepada seorang ustadz di lingkungan rumahnya. Setelah ia ceritakan semua detil kejadiannya, si ustadz menasehati dengan nasehat standar, “Mas, hidup ini bagaikan roda yang berputar, kadang dibawah, kadang diatas. Saat diatas kita tidak boleh semena-mena, saat dibawah kita harus sabar… Orang sabar itu di sayang Tuhan. Setiap peristiwa pasti ada hikmahnya, jadi mas tidak perlu menyesalinya, hadapi saja realitanya, ingat lho mas, Tuhan selalu bersama orang-orang yang sabar…”
Kembali soal “penyesalan”, kata Sariman. Benarkah penyesalan itu tiada berguna?
Sariman geleng-geleng, “Dasar pilon!” katanya.
Penyesalan itu justru penting. Penyesalan itu adalah akibat dari sebuah sebab. Akibat yang tidak sesuai dengan kehendak itulah yang mendatangkan penyesalan. Jika akibat yang ada tidak seperti yang di kehendaki, berarti ada yang salah pada sisi sebabnya. Maka penyesalan itu datangnya selalu belakangan, lantaran ia hanya akibat. Karena ada yang salah pada sisi sebabnya itulah mengapa penyesalan itu menjadi penting.
Penyesalan itu sebuah keadaan dimana seseorang telah menyadari kekeliruannya. Telah menemukan bottle neck nya. Menginsyafi bahwa apa yang telah dilakukannya salah atau kurang benar dan merugikan dirinya. Ketika kita dilarang menyesali keadaan, maka sama artinya kita dilarang menginsyafi dan menyadari kesalahan-kesalahan kita. Pilon tidak?
Koruptor-koruptor itu, maling-maling, bandar narkoba, yang telah keluar dari penjara akan tetap melakukan korupsi, akan terus mencuri, akan terus mengedarkan narkoba, karena sebuah paradigma “penyesalan tiada berguna”. Mereka mau menyesal, mau menginsyafi bahwa yang dilakukannya adalah salah besar, tapi kita malah menasehati “yang sudah ya sudah, tidak usah di sesali”.
Seharusnya kita berikan ruang penyesalan itu. Pertobatan itu tidak akan terjadi jika tidak diawali dengan sebuah penyesalan, bukan? Karena ia sadar bahwa ia berbuat salah, karena ia menginsyafi bahwa ia telah men-dzalimi banyak orang, dan itu semua merugikan diri sendiri dan banyak orang, maka ia menyesal dan bertobat serta tidak akan melakukannya lagi. Begitu kan urut-urutannya? “Karena itulah penyesalan adalah pintu menuju pertobatan”, kata Sariman.
Jadi mungkin saja itulah penyebabnya mengapa koruptor tetap setia menjadi koruptor, pemimpin mencederai amanatnya, bangsa menjadi kerdil dan tak berdaya memberikan rasa aman, tentram, dan kebanggaan, nasionalisme menciut, ekonomi kita di setir oleh kekuatan asing, westernisasi dianggap bahaya tapi tidak terbendung, masyarakat bingung di ping-pong oleh permainan politik, kerumunan massa di jalanan semakin penuh penuh sesak dan bising dengan yel-yel, menuntut hak-haknya, bencana dijadikan komoditas politik, perubahan hanya sebatas sebagai tema kampanye dan sesudahnya dilupakan. Semua itu karena kita tidak pernah sadar oleh apa yang telah kita lakukan, tidak pernah belajar dari kesalahan, tidak pernah kapok oleh hukuman, tidak jera oleh pengalaman pahit, dan itu semua lantaran kita selalu merasa benar sendiri tanpa pernah ada sedikitpun penyesalan sehingga pintu pertobatan selalu terkunci rapat.
Lantas siapa yang pilon?
Yang pilon adalah kita yang selalu mengajarkan bahwa “penyesalan itu tiada berguna”.
Sesalilah…
Keterangan: PILON = bloon, bodoh, tindakan kebodoh-bodohan ; (betawi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar