Senin, 30 Januari 2012

Terimakasih Pak Hamid, Kami Bangga Menjadi Murid Bapak........


Pak Hamid duduk termangu. Dipandanginya benda-benda yang berjajar di depannya dengan masygul. Bertahun-tahun dimilikinya dengan penuh kebanggaan. Dirawat dengan baik hingga selalu bersih dan mengkilap. Jika ada orang yang bertanya, Pak Hamid akan bercerita dengan penuh kebanggaan.

Siapa yang tidak bangga memiliki benda-benda itu? Berbagai plakat penghargaan yang diterimanya selama 35 tahun pengabdiannya sebagai guru di daerah terpencil. Daerah terisolasi yang tidak diminati oleh guru-guru yang lain.

Namun Pak Hamid ikhlas menjalaninya, walau dengan gaji yang tersendat dan minimnya fasilitas sekolah. Cinta Pak Hamid pada anak-anak kecil yang bertelanjang kaki dan rela berjalan jauh untuk mencari ilmu, mampu menutup keinginannya untuk pindah ke daerah lain yang lebih nyaman.

Kini masa itu sudah lewat. Masa pengabdiannya usai sudah pada usianya yang keenam puluh. Meskipun berat hati, Pak Hamid harus meninggalkan desa itu beserta keluarganya. Mereka tinggal di rumah peninggalan mertuanya di pinggir kota. Jauh dari anak didik yang dicintainya, jauh dari jalan tanah, sejuknya udara dan beningnya air yang selama ini menjadi nafas hidupnya.

“Hei, jualan jangan sambil melamun!” teriak pedagang kaos kaki di sebelahnya. Pak Hamid tergagap.

“Tawarkan jualanmu itu pada orang yang lewat. Kalau kamu diam saja, sampek elek ra bakalan payu!”* kata pedagang akik di sebelahnya.

“Jualanmu itu menurutku agak aneh,” ujar pedagang kaos kaki lagi. “Apa ada yang mau beli barang-barang seperti itu ? Mungkin kamu mesti berjualan di tempat barang antik. Bukan di kaki lima seperti ini”.

Pak Hamid tak menjawab. Itu pula yang sedang dipikirkannya. Siapa yang tertarik untuk membeli plakat-plakat itu? Bukanlah benda-benda itu tidak ada gunanya bagi orang lain, sekalipun sangat berarti baginya ?

“Sebenarnya kenapa sampai kau jual tanda penghargaan itu ?” tanya pedagang akik.
“Saya butuh uang.”

“Apa istri atau anakmu sedang sakit ?”
“Tidak. Anak bungsuku hendak masuk SMU. Saya butuh uang untuk membayar uang pangkalnya.”

“Kenapa tidak ngutang dulu. Siapa tahu ada yang bisa membantumu.”
“Sudah. Sudah kucoba kesana-kemari, namun tak kuperoleh juga.”

“Hei, bukankah kau punya gaji...eh... pensiun maksudku.”
“Habis buat nyicil montor untuk ngojek si sulung dan buat makan sehari-hari.”

Penjual akik terdiam. Mungkin merasa maklum, sesama orang kecil yang mencoba bertahan hidup di kota dengan berjualan di kaki lima .
“Kau yakin jualanmu itu akan laku?”penjual kaos kaki bertanya lagi setelah beberapa saat. Matanya menyiratkan iba.
“Insya Allah. Jika Allah menghendaki aku memperoleh rejeki, maka tak ada yang dapat menghalanginya.”

Siang yang panas. Terik matahari tidak mengurangi hilir mudik orang-orang yang berjalan di kaki lima itu. Beberapa orang berhenti, melihat-lihat akik dan satu dua orang membelinya. Penjual akik begitu bersemangat merayu pembeli. Rejeki tampaknya lebih berpihak pada penjual kaos kaki. Lebih dari dua puluh pasang kaos kaki terjual. Sedangkan jualan Pak Hamid, tak satupun yang meliriknya.

Keringat membasahi tubuh Pak Hamid yang mulai renta dimakan usia. Sekali lagi dipandanginya plakat-plakat itu. Kegetiran membuncah dalam dadanya. Berbagai penghargaan itu ternyata tak menghidupinya. Penghargaan itu hanya sebatas penghargaan sesaat yang kini hanya tinggal sebuah benda tak berharga.

Sebuah ironi yang sangat pedih. Tak terbayangkan sebelumnya. Predikatnya sebagai guru teladan bertahun yang lalu, tak sanggup menghantarkan anaknya memasuki sekolah SMU. Sekolah untuk menghantarkan anaknya menggapai cita-cita, yang dulu selalu dipompakan ke anak-anak didiknya. Saat kegetiran dan keputusasaan masih meliputinya, Pak Hamid dikejutkan oleh sebuah suara.

“Bapak hendak menjual plakat-plakat ini?” seorang lelaki muda perlente berjongkok sambil mengamati jualan Pak Hamid. Melihat baju yang dikenakannnya dan mobil mewah yang ditumpanginya, ia sepertinya lelaki berduit. Pak Hamid tiba-tiba berharap.

“Ya...ya..saya memang menjual plakat-plakat ini,” jawab Pak Hamid gugup.
“Berapa bapak jual setiap satuannya?”

Pak Hamid berfikir,”Berapa ya? Bodoh benar aku ini. Dari tadi belum terpikirkan olehku harganya.”

“Berapa, Pak?”
“Eee...tiga ratus ribu.”
“Jadi semuanya satu juta lima ratus. Boleh saya beli semuanya ?”

Hah! Dibeli semua, tanpa ditawar lagi! Kenapa tidak kutawarkan dengan harga yang lebih tinggi? Pikir Pak Hamid sedikit menyesal. Tapi ia segera menepis sesalnya. Sudahlah, sudah untung bisa laku.

“Apa bapak punya yang lain. Tanda penghargaan yang lain misalnya ...”
Tanda penghargaan yang lain? Pak Hamid buru-buru mengeluarkan beberapa piagam dari tasnya yang lusuh. Piagam sebagai peserta penataran P4 terbaik, piagam guru matematika terbaik se kabupaten, bahkan piagam sebagai peserta Jambore dan lain-lain piagam yang sebenarnya tidak begitu berarti. Semuanya ada sepuluh buah.

“Bapak kasih harga berapa satu buahnya ?”
“Dua ratus ribu.” Hanya itu yang terlintas di kepalanya.

“Baik. Jadi semuanya seharga tiga juta lima ratus ribu. Bapak tunggu sebentar, saya akan ambil uang di bank sana itu.” kata lelaki perlente itu sambil menunjuk sebuah bank yang berdiri megah tak jauh dari situ.
“Ya...ya..saya tunggu.” kata Pak Hamid masih tak percaya.

Menit-menit yang berlalu sungguh menggelisahkan. Benarkah lelaki muda itu hendak membeli plakat-plakat dan berbagai tanda penghargaannya? Atau dia hanya penipu yang menggoda saja? Pak Hamid pasrah.

Tapi nyatanya, lelaki itu kembali juga akhirnya dengan sebuah amplop coklat di tangannya. Pak Hamid menghitung uang dalam amplop, lalu buru-buru membungkus plakat-plakat dan berbagai tanda penghargaan miliknya dengan kantong plastik, seakan-akan takut lelaki muda itu berubah pikiran.

Dipandangnya lelaki muda itu pergi dengan gembira bercampur sedih. Ada yang hilang dari dirinya. Kebanggaan atau mungkin juga harga dirinya. Pak Hamid kini melipat alas dagangannya dan segera beranjak meninggalkan tempat itu, meninggalkan pedagang akik dan kaos kaki yang terbengong-bengong. Entah apa yang mereka pikirkan. Namun, ia tak sempat berfikir soal mereka, pikirannya sendiri pun masih kurang dapat mempercayai apa yang baru saja terjadi.

“Lebih baik pulang jalan kaki saja. Mungkin sepanjang jalan aku bisa menata perasaanku. Sebaik mungkin. Aku tidak ingin istriku melihatku merasa kehilangan plakat-plakat itu. Aku tidak ingin ia melihatku menyesal telah menjualnya. Karena aku ingin anakku sekolah, aku ingin dia sekolah!” Pak Hamid bertutur panjang dalam hati.

Ia melangkah gontai menuju rumah. Separuh hatinya begitu gembira, akhirnya si bungsu dapat sekolah. Tiga setengah juta cukup untuk membiayai uang pangkal dan beberapa bulan SPP. Namun, separuh bagian hatinya yang lain menangis, kehilangan plakat-plakat itu, yang sekian tahun lamanya selalu menjadi kebanggaannya.

Jarak tiga kilometer dan waktu yang terbuang tak dipedulikannya. Sesampainya di rumah, istrinya menyambutnya dengan wajah khawatir.

“Ada apa, Pak? Apa yang terjadi denganmu? Tadi ada lelaki muda yang mencarimu. Dia memberikan bungkusan ini dan sebuah surat. Aku khawatir sampeyan ada masalah.”

Pak Hamid tertegun. Dilihatnya kantong plastik hitam di tangan istrinya. Sepertinya ia mengenali kantong itu. Dibukanya kantong itu dengan terburu-buru. Dan...plakat- plakat itu, tanda penghargaan itu ada di dalamnya! Semuanya! Tak ada yang berkurang satu bijipun! Apa artinya ini? Apakah lelaki itu berubah pikiran? Mungkin ia bermaksud mengembalikan semuanya. Atau mungkin harga yang diberikannya terlalu mahal.

Batin Pak Hamid bergejolak riuh. Segera dibukanya surat yang diangsurkan istrinya ke tangannya. Sehelai kartu nama terselip di dalam surat pendek itu.

Pak Hamid yang saya cintai,
Saya kembalikan plakat-plakat ini. Plakat-plakat ini bukan hanya berarti untuk Bapak, tapi juga buat kami semua, murid-murid Bapak. Kami bangga menjadi murid Bapak. Terima kasih atas semua jasa Bapak.

Gunarto, lulusan tahun 75.

Tak ada kata-kata. Hanya derasnya air mata yang membasahi pipi Pak Hamid.

Setangkai Mawar Untuk Mama


Seorang Pria memasuki sebuah toko bunga. Dia memesan seikat bunga yang dapat dikatakan sangat indah, untuk dikirimkan kepada ibundanya yang tinggal sejauh 300 km di kota lain sebagai ucapan ulang tahun untuknya. Setelah selesai dan mencatatkan alamat ibunya, dia pun keluar.

Ketika akan memasuki mobilnya, dia melihat seorang gadis kecil di ujung jalan sedang menangis tersedu-sedu. Dia pun menemui gadis kecil itu dan bertanya, “Kenapa sayang?”

Gadis kecil itu menjawab diantara isakan tangisnya, “Aku ingin sekali membelikan ibuku bunga, setangkai mawar. Tapi sungguh aku tak punya uang untuk membelinya. Uangku hanya seribu rupiah saja. Padahal harga mawar tiga ribu banyaknya.”

Pria itu tersenyum dan berkata, “Ayo Nak, kubelikan kamu bunga yang kamu mau.” Lantas dia dan gadis kecil itu pun ke toko bunga. Dibelikannya gadis kecil itu setangkai mawar yang indah. Dia pun membatalkan pesanan yang pertama dan menggantinya dari seikat bunga menjadi karangan bunga untuk dikirimkan ke ibundanya.

Setelah keluar dari toko, sang Pria justru terkesan dengan polah si anak. Penasaran dengan seorang ibu yang berhasil mendidik putri yang baru saja ditemuinya, sejurus kemudian dia berpikir untuk mengantarkan si gadis kecil itu, maka dia pun berkata, “Nak, bolehkah aku mengantarmu ke rumah ibumu.” Si gadis kecil itu pun melonjak kegirangan. “Benarkah paman mau mengantarkanku menemui ibu?”

“Tentu saja. Ke manapun akan ku antar” kata pria itu.

Mereka berdua memasuki mobil. Lalu meluncur ke sebuah tempat yang ditunjukkan gadis kecil itu. Sesampainya ditempat yang dituju. Gadis kecil itu bergegas turun dan berlari menuju sebuah pusara yang tanahnya masih basah.........Tempat Pemakaman

“Disinilah tempat ibu saya,” katanya sembari meletakkan setangkai mawar yang baru dibelinya tadi ke pusara, setangkai mawar yang sejak tadi digenggamnya erat=erat dan diciuminya sepanjang jalan, setangkai mawar yang ia sendiri tak mampu untuk membelinya, setangkai mawar yang sanggup ia persembahkan untuk mamanya yang telah tiada.

“Tinggalkan aku di sini saja. Nanti aku pulang sendiri. Aku ingin dekat dengan Mama.”

Pria itu tercenung, tenggorokannya tercekat tak kuasa menahan air matanya yang hampir tumpah saat teringat sesuatu. Bergegas dia menuju ke toko bunga. Dia membatalkan kirimannya dan mengambil karangan bunga itu sendiri. Dia kendarai sendiri mobilnya sejauh 300 km ke rumah ibundanya

Pelajaran dari Tukang Sol Sepatu


Siang ini saat menghadiri acara pernikahan teman SMP-ku yang menikah dengan pria pilihannya sangat menyentuh hati, ternyata mempelai prianya adalah anak dari seorang tukang sol sepatu yang sangat sederhana namun sangat menghargai kehidupan dan mensyukuri hidup yang telah digariskan oleh Allah buat keluarganya.

Mempelai prianya ini adalah lulusan fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah.

Mungkin sebagian orang pasti bertanya bagaimana caranya anak seorang tukang sol sepatu tapi bisa menjadi dokter?

Bukankah semuanya itu atas kuasa dan seijin Allah…

Ternyata bukan itu saja kekagumanku kepada figur seorang bapak tukang sol sepatu itu, tapi aku juga mendapat banyak nasehat dan pelajaran dari perjalanan hidupnya selama menggeluti profesi sebagai tukang sol sepatu lebih dari 37 tahun, bukannya sebuah perjalanan hidup yang mudah, begitu setianya beliau dengan sebuah profesi untuk jaman sesulit ini.

Iseng aku bertanya…bapak, bagaimana cara bapak mengatur semuanya?

Begini nak…, dulu waktu bapak muda, bapak punya kebiasaan merokok, lalu bapak hentikan saat anak laki-laki semata wayang bapak ini lahir, alasannya hanya dua yaitu tidak mau merncemari pertumbuhan anaknya dengan asap rokok yang akan membuatnya batuk dan sakit, kedua bila bapak merokok sehari 10 batang dan harganya Rp. 5000,- per bungkus, maka bila bapak tidak merokok, uang Rp. 5000,- itu bapak masukkan ke tiang bambu yang menyangga rumahnya dan tak ada satu sen-pun yang bapak ambil hingga anak bapak lulus SMA, dan saat mendengar khabar anak bapak diterima kuliah di fakultas kedokteran, baru bapak belah bambu itu dan uangnya untuk membayar SPP dan administrasi pendaftaran, dan bapak berpesan pada anak bapak, kamu harus tetap prihatin ya kalau kamu ingin sampai selesai kuliah…

Pesan bapak yang lain pada anak bapak adalah bila kamu ingin mencapai hidup yang baik dan memberikan manfaat buat sesama, hidup itu harus lurus seperti tanaman bambu yang batangnya lurus dan tegak (tidak bengkok) maka itulah yang dipilih dan diambil oleh manusia untuk digunakan sebagai sesuatu yang memberikan banyak manfaat, tapi yang tumbuhnya bengkok pastilah akan ditinggalkan begitu saja.

Dan anak bapak sangat patuh dengan pesan bapak itu dan alhamdulillah akhirnya dapat menamatkan sekolahnya, Subhanallah…

Inilah pemikiran sederhana dari seorang bapak tua tukang sol sepatu yang memiliki pengabdian yang begitu besar buat keluarganya dan begitu setia dengan pekerjaannya yang saat ini sudah banyak ditinggalkan oleh sebagian orang.

Selamat buat temanku yang baru saja melangsungkan pernikahannya dengan suami pilihanmu yang sangat baik dengan melihat kehidupan itu apa adanya dan selalu mensyukuri nikmat Allah dan selalu bangga dengan figur orang tuanya yang telah membesarkan dan mendidiknya hingga menjadi dokter.

Maaf Mas, Saya Tidak Punya Uang Kembalian


Cuaca hari ini sangat sangat panas. Mbah Sarno terus mengayuh sepeda tuanya menyisir jalan Perumahan Condong Catur, Sleman demi menyambung hidup. Mbah Sarno sudah puluhan tahun berprofesi sebagai tukang sol sepatu keliling. Jika orang lain berfikir "mau nonton apa saya malam ini?", Mbah Sarno cuma bisa berfikir "saya bisa makan atau nggak malam ini?"

Di tengah cuaca panas seperti ini pun terasa sangat sulit baginya untuk mendapatkan pelanggan. Bagi Mbah Sarno, setiap hari adalah hari kerja. Dimana ada peluang untuk menghasilkan rupiah, disitu dia akan terus berusaha. Hebatnya, beliau adalah orang yang sangat jujur. Meskipun miskin, tak pernah sekalipun ia mengambil hak orang lain.

Jam 11, saat tiba di depan sebuah rumah mewah di ujung gang, dia pun akhirnya mendapat pelanggan pertamanya hari ini. Seorang pemuda usia 20 tahunan, terlihat sangat terburu-buru.

Ketika Mbah Sarno sedang menambal sepatunya yang bolong, sang pemuda terlihat terus menerus melihat jam. Karena pekerjaan ini sudah digelutinya bertahun-tahun, dalam waktu singkat ia pun berhasil menyelesaikan pekerjaannya.

"Wah cepat sekali. Berapa pak?"
"5000 rupiah saja mas"

Sang pemuda pun mengeluarkan uang seratus ribuan dari dompetnya. Mbah Sarno jelas kaget dan tentu ia tidak punya uang kembalian sama sekali apalagi sang pemuda ini adalah pelanggan pertamanya hari ini.

"Wah, mas gak ada uang pas ya?"
"Nggak ada pak, uang saya tinggal selembar ini, belum dipecah pak"

"Maaf mas, saya nggak punya uang kembalian"
"Waduh repot juga kalo gitu. Ya sudah saya cari dulu sebentar pak ke warung depan"

"Udah mas nggak usah repot-repot. Mas bawa dulu saja. Saya perhatikan mas lagi buru-buru. Lain waktu saja mas kalau kita ketemu lagi."

"Oh syukurlah kalo gitu. Ya sudah makasih ya pak."

Jam demi jam berlalu dan tampaknya ini hari yang tidak menguntungkan bagi Mbah Sarno. Dia cuma mendapatkan 1 pelanggan dan itupun belum membayar. Ia terus menanamkan dalam hatinya, "Insya Allah akan dapat gantinya."

Ketika waktu menunjukkan pukul 3 lebih ia pun menyempatkan diri shalat ashar di masjid depan lapangan bola sekolah. Selesai shalat ia berdoa.

"Ya Allah, izinkan aku mencicipi secuil rezekimu hari ini. Hari ini aku akan terus berusaha, selebihnya adalah kehendakmu."

Selesai berdoa panjang, ia pun bangkit untuk melanjutkan pekerjaannya.

Ketika ia akan menuju sepedanya, ia kaget karena pemuda yang tadi siang menjadi pelanggannya telah menunggu di samping sepedanya.

"Wah kebetulan kita ketemu disini, pak. Ini bayaran yang tadi siang pak."

Kali ini pemuda tadi tetap mengeluarkan uang seratus ribuan. Tidak hanya selembar, tapi ada 5 lembar.

"Loh loh mas? Maaf mas saya masih belum punya kembalian. Ini juga kok 5 lembar mas?"

"Sudah pak, bapak terima saja. Kembaliannya, sudah saya terima tadi. Hari ini saya tes wawancara. Telat 5 menit saja saya sudah gagal pak. Untung bapak membiarkan saya pergi dulu. Insya Allah minggu depan saya berangkat ke Perancis pak. Saya mohon doanya pak"

"Tapi ini terlalu banyak mas"

"Saya bayar sol sepatu nya 5000 rupiah. Sisanya untuk membayar kesuksesan saya hari ini dan keikhlasan bapak hari ini."

Terimakasih Sudah Membanjiriku Dengan Cinta, Suamiku...


Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pilihan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak kuasa. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri mereka satu-satunya.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku kerap mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang, kamu sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat, kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera.

Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat.

Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami.

Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmataku merebak, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan.

Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Kalian tahu apa kegemaran suamiku kata seluruh keluargaku ??? Kata mereka, suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental.

Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku.

Hari-hari yang kujalani di awal kepergiannya begitu hampa, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana.

Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas.

Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak.

sebulan setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa.

Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekening bank yang selama ini jarang aku gunakan.

Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, surat wasiat yang ia buat jauh2 hari sebelum kepergiannya. Dan ini adalah isi surat terakhirnya yang membuatku tak mampu mengucap apa-apa.

Istriku tersayang,

Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu.
Dan untukmu Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, jagoan ayah ??

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”

Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”

Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Wahai pembaca, aku mungkin wanita yang tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan 10 tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya.

"Aku terbebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus"

Saat Sahabat Kecilku, Dipanggil Bergiliran Ke Surga


Aku tersenyum-senyum sambil menggenggam erat tas daur ulang besar yang kubawa. Setumpuk buku cerita, mainan, topi-topi lucu, buku mewarnai dan beberapa krayon memenuhi tas itu. Minggu ini aku membawa lebih banyak dari biasanya.

Tulisan-tulisanku yang mengisi berbagai media majalah anak-anak banyak dimuat bulan kemarin, hingga aku bisa membelikan anak-anak sahabat kecilku berbagai pesanan mereka. Ditambah pula beberapa buku cerita oleh beberapa sahabatku yang sudah tahu kegiatan bulananku ini. Ah, pasti mereka senang bisa mendapatkan lebih banyak dari biasanya. Lumayanlah buat menghibur hati mereka.

Semuanya berawal dari ujian yang berat beberapa bulan lalu, saat dokter mengatakan aku terkena kanker indung telur. Untunglah setelah menjalani operasi pengangkatan salah satu indung telurku, aku bisa selamat. Meskipun begitu, aku harus rutin memeriksakan diri.

Di masa-masa itulah, aku berkenalan dengan anak-anak manis penderita kanker darah. Kami bertemu tidak sengaja di playground area di rumah sakit. Saat itu, aku sedang sangat sedih karena harus kehilangan salah satu indung telurku. Kehilangan 50% kesempatan memiliki anak. Memang aku belum memiliki kekasih, tapi aku sangat suka anak-anak dan saat dokter mengatakannya dengan jelas bahwa kemungkinan aku akan sedikit sulit memiliki anak, aku jadi sangat sedih dan tanpa sengaja terus berjalan hingga ke playground area itu.

Anak-anak itu tertawa, saling melempar cerita dengan tangan terbelenggu selang infus. Dengan ceria, mereka bernyanyi dan saling menghibur ketika anak lain tampak lebih sakit. Senyuman di wajah pucat dengan kepala plontos menghias merata di ruangan playground itu, menegurku secara tak langsung. Mereka mengingatkanku bahwa kesempatanku jauh lebih berharga dibanding mereka tapi mereka lebih bisa mensyukurinya.

Dan sejak itulah, aku tetap datang. Bukan sebagai pasien lagi, aku memilih menjadi sahabat anak-anak itu. Setiap senin minggu ke dua atau ke empat, aku selalu meluangkan waktu datang dan bermain bersama mereka. Setiap kali ada rezeki berlebih dari hasil menulis, aku membeli beberapa krayon atau buku mewarnai dan membaginya pada anak-anak itu.

Rezekiku tak pernah berkurang, justru bertambah karena anak-anak ini memberiku lebih banyak inspirasi. Kini beberapa sahabat turut serta dan ikut menyumbang. Kalau dulu sering melihat kekecewaan karena tidak kebahagiaan, sekarang semua itu hampir tak ada. Malah kadang-kadang bawaanku bersisa, dan biasanya kujadikan tambahan untuk playground area rumah sakit itu.

Ting! Suara pintu lift membuyarkan lamunanku. Aku sudah sampai di lantai yang kumau. Dengan langkah cepat aku menuju ruang playground area. Beberapa wajah yang kukenali langsung melambaikan tangan saat melihatku, beberapa berteriak memanggil dengan gembira, “Bundaaa datang!!” aku tersenyum lebar dan menghampiri mereka. Kusalami satu persatu, menyebutkan nama dan memeluk mereka. Kulihat beberapa wajah baru dan mendekati mereka.

“Siapa namanya, sayang?” tanyaku lembut pada seorang gadis kecil bermata besar yang rambutnya hampir habis.

“Mamaaa,” anak itu malah memeluk ibunya dengan takut-takut menatapku. Aku berlutut, kukeluarkan sebuah buku mewarnai dan krayon. Sambil tersenyum, kusodorkan kedua barang itu padanya, “Bunda bukan perawat, sayang. Bunda datang ke sini buat ngajarin anak-anak manis mewarnai. Nah ini buat adik, kalau nanti sudah nggak takut boleh gabung di situ. Ambillah!” ujarku. Anak itu masih menatapku, tapi tangannya terulur menerima pemberianku.

Aku akan beranjak ketika terdengar suara, “Cici. Nama saya Cici!” aku menoleh kembali. Gadis kecil itu menatapku, ada keinginan jelas di matanya kalau ia tertarik bergabung denganku. Aku mengangguk dan mengulurkan tangan, anak itupun berdiri lalu menggenggam erat tanganku. Satu lagi sahabat kecilku bertambah. Aku menggendongnya menuju salah satu sudut di mana sahabat-sahabat kecilku yang lain sedang menanti.

Kududukkan Cici di sisiku. Lalu aku memanggil satu persatu sahabat-sahabat kecilku. Anak-anak itu melonjak gembira, sejenak lupa pada penyakit mereka saat menerima hadiah kecilku. Setelah selesai, aku melihat beberapa anak yang sudah mengidap kanker pada stadium lanjut menatap iri dari kursi rodanya. Aku berdiri, membagikan buku cerita baru dan memasang topi lucu pada mereka. Kuminta pada pendamping mereka, biasanya ayah dan ibunya untuk membacakannya. Ada binar di bola mata anak-anak itu saat aku memberikannya. Sungguh luar biasa perasaan ini melihat kegembiraan sesaat itu.

Aku membimbing anak-anak mewarnai. Dengan sabar, aku menjelaskan warna yang bagus untuk buku mewarnai mereka. Walaupun terlihat aku mengajari mereka, sesungguhnya merekalah yang mengajariku. Mereka mengajariku tentang ketabahan, kedewasaan dan kepolosan dalam menghadapi ujian penyakit mereka.

“Bunda, sudah selesai!” sebuah suara terdengar dari belakangku. Aku kembali menoleh, Theo, salah satu sahabat kecilku menatapku dengan tangan memamerkan buku yang sudah diwarnai tuntas. Kuraih buku itu dan melihatnya. “Waah, bagus sekali warnanya!” pujiku tulus. Theo memang penggemar berat mewarnai. Selain cepat, ia bisa mewarnai dengan memadu padan warna begitu indah.

“Bunda, ini Theo balikin,” kata Theo sambil menyodorkan kotak berisi krayon yang baru kuserahkan.

Keningku mengernyit, “loh kenapa? Tadi kata Mama, krayon Theo hampir habis.”

Theo menghela nafas, “Punya Theo masih bisa dipakai. Sayang kan kalau yang ini nanti akan dibuang. Biar buat yang lain saja.”

“Kenapa harus dibuang, Theo? Kan Theo suka mewarnai,” tanyaku bingung.

“Bunda, Theo mungkin gak lama lagi dapet giliran ke surga. Belakangan ini Theo makin sering mimisan dan pingsan. Theo takut kalau nanti Theo ke surga, barang-barang Theo dibuang. sayang kan bun?”

Aku terpana. Kata-kata Theo bagai gong besar di telingaku. Anak-anak ini memang terbiasa menggunakan istilah giliran ke surga sebagai pengganti kata “meninggal dunia”. Aku bingung mesti menjawab apa, apalagi kulihat di belakang Theo terlihat mata Mama Theo mulai berkaca-kaca saat mendengar jawaban anaknya.

Kusembunyikan rasa sedih dalam hatiku dengan tersenyum, “sini deh, Theo. Bunda ngasih krayon buat Theo, bukan hanya agar Theo senang karena bisa mewarnai. Tapi Bunda juga ingin karya Theo bisa meninggalkan kenangan buat Mama Theo, buat Bunda, buat teman-teman Theo di sini.

Jadi kalau memang giliran ke surga jatuh pada Theo, kami di sini bisa mengenang Theo yang manis dan pandai mewarnai,” aku menarik nafas agar bisa tetap mengendalikan emosiku lalu kembali menyambung, “Theo, buat kami semua Theo adalah bagian dari hati kami, jadi apapun barang milik Theo tidak akan ada yang dibuang.

Jadi Theo jangan takut ya, pakailah!” aku kembali mengulurkan krayon itu pada Theo dan Theo menerimanya dengan anggukan. Ia melangkah mendekati Mamanya dengan tertatih. Aku buru-buru menghapus airmataku yang mulai menggenang.

Anak-anak ini memang sering membuatku seperti itu. Pembicaraan mereka bukanlah pembicaraan biasa. Kematian, rasa sakit, obat kanker, kemoterapi sampai kepala botak adalah hal biasa. Kadang mereka membuat model rambut unik di sisa-sisa rambut yang tertinggal agar dianggap lucu. Bagi mereka, kematian adalah proses perjalanan lain setelah hidup dan menerimanya sebagai pembebasan dari rasa sakit panjang mereka.

Berat rasanya melihat orang-orang yang kita sayangi, menjalani sakit yang luar biasa lalu menceritakannya seakan-akan itu adalah hal biasa terjadi. Dan aku hanya bisa melakukan hal kecil ini, menghibur dan mengisi hati mereka yang membosankan, membuat waktu singkat itu menjadi suatu kenangan luar biasa untuk orang-orang yang menyayangi mereka.

Beberapa minggu kemudian, aku menerima sebuah hadiah dari Mama Theo. Dengan mata sembab karena menangis, ia menyodorkan beberapa buku mewarnai yang sudah selesai diwarnai. “Ini dari Theo, Bunda. Ia meminta saya memberikannya pada Bunda kalau giliran ke surganya tiba. Diterima ya Bunda, semoga bisa menjadi pembangkit semangat buat Bunda agar tetap memberi anak-anak lain semangat yang sama seperti Theo. Terima kasih karena sudah memberikan harapan dan hiburan buatnya selama ini.”

Airmataku meleleh tak terbendung. Kuambil hadiah itu dengan tangan gemetar, “Theo… kapan, kapan dia pergi, Mama?” tanyaku setengah tak percaya.

“Kemarin, tiga jam setelah kemoterapi. Dia meninggalkan kami… dia meninggal dalam tidurnya, Bunda,” dan sekali lagi airmata Mama Theo membasahi pipinya, aku memeluknya dan bersama kami menangis. Sama seperti saat-saat lain ketika bunda-bunda lain menyampaikan berita itu padaku, saat sahabat-sahabat kecilku dipanggil bergiliran ke surga.

Buat Semua Ibu yang selalu mendampingi putra-putri mereka saat sakit :
Semoga Allah SWT tetap memberi kalian semangat dan kekuatan… terutama Bunda-Bunda di Dharmais, senang berbicara dengan kalian. Optimis dan selalu tabah! (bundaiin)